Toxic Positivity

Toxic Positivity: Saat Semua Harus Terlihat Baik-Baik Saja

Ada satu fase dalam hidup saya yang… ya, nggak baik-baik aja. Lagi banyak masalah keluarga, kerjaan numpuk, dan kesehatan mental mulai goyah. Tapi setiap kali cerita ke teman, mereka langsung bilang:

“Ah, semangat ya!”
“Positif thinking aja.”
“Kamu pasti bisa kok!”

Awalnya terasa menyenangkan. Tapi lama-lama, kok makin sesak ya?

Saya nggak merasa didengar. Rasanya kayak perasaan saya gak valid. Kayak semua harus berujung “senyum lagi” padahal… saya cuma butuh dimengerti.

Dari situ saya kenal istilah: toxic positivity.

Awalnya Saya Juga Suka Kasih Kalimat-Kalimat Positif… Tanpa Sadar, Ternyata Itu Menyakiti

Toxic Positivity

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity itu sikap selalu ingin positif dalam segala situasi—bahkan saat kondisinya gak memungkinkan. Ini bukan sekadar berpikir positif, tapi memaksa diri (atau orang lain) buat selalu terlihat bahagia, tegar, kuat, meski dalam kondisi yang seharusnya boleh banget buat sedih.

Contoh-contoh kalimat yang sering kita dengar:

  • “Jangan sedih terus dong, nanti rezekinya susah masuk.”

  • “Banyak yang lebih parah dari kamu, bersyukur dong!”

  • “Yaudah sih, ambil hikmahnya aja.”

Maksudnya mungkin baik. Tapi seringkali, kalimat-kalimat ini memotong proses emosional yang penting, kayak sedih, kecewa, atau marah. Emosi itu bukan musuh. Mereka sinyal. Kalau kita tekan terus, ya… bisa meledak di dalam.

Pengalaman Pribadi: Dipaksa Bahagia Justru Bikin Saya Makin Drop

Saya pernah ngadepin kehilangan orang dekat. Prosesnya berat, dan saya ngerasa kosong. Tapi tiap kali saya curhat, banyak yang malah ngasih “solusi cepat” atau “kalimat penyemangat”.

Sampai satu titik, saya mulai merasa bersalah karena sedih. Saya jadi ngerasa lemah. Gagal. Kayak gak layak buat merasa buruk. Padahal saya cuma manusia biasa.

Akhirnya saya mulai memendam semuanya. Berusaha selalu terlihat kuat. Tapi itu bikin saya makin hancur di dalam.

Yang saya butuhkan waktu itu sebenarnya cuma satu: didengar. Gak perlu dikasih saran, gak perlu dibenerin. Cukup ditemenin dalam diam pun, kadang udah cukup.

Kenapa Toxic Positivity Bahaya Banget?

Toxic Positivity

1. Memotong Proses Penyembuhan Emosional

Kita butuh merasa sedih, kecewa, bahkan marah untuk bisa pulih. Kalau dipaksa “bahagia terus”, kita kehilangan proses alami itu.

2. Bikin Orang Takut Jujur

Toxic positivity bisa bikin orang gak berani cerita. Mereka takut dicap “baper” atau “gak bersyukur”.

3. Nambah Tekanan Mental

Alih-alih merasa didukung, korban toxic positivity malah ngerasa sendirian. Kayak gak boleh sedih. Padahal emosi negatif itu wajar, bukan aib.

4. Munculnya Topeng Palsu

Banyak orang akhirnya pakai topeng: terlihat ceria, padahal di dalamnya remuk. Dan itu melelahkan banget.

Ciri-Ciri Kita Sudah Masuk ke Lingkaran Toxic Positivity (Tanpa Sadar)

  • Merasa harus “kuat terus” walaupun sudah gak sanggup

  • Sering menyalahkan diri sendiri karena merasa sedih

  • Ngerasa gagal kalau gak bisa happy

  • Cepat-cepat menyemangati teman tanpa benar-benar dengar ceritanya

  • Menghindari pembicaraan yang “terlalu berat” karena bikin nggak nyaman

Kalau kamu merasa satu atau lebih dari itu, mungkin saatnya nanya ke diri sendiri: “Apa saya lagi maksa terlalu keras buat ‘baik-baik aja’?”

Cara Keluar dari Toxic Positivity dan Menjadi Teman yang Lebih Hadir

Toxic Positivity

1. Validasi Perasaan Dulu, Baru Bicara Solusi

Kalau teman curhat, jangan buru-buru menyemangati. Coba bilang:

“Pasti berat ya ngelewatin ini.”
“Kamu boleh kok ngerasa kayak gitu.”
“Aku di sini dengerin.”

Baru nanti, kalau dia udah tenang dan minta masukan, baru kasih saran dikutip dari laman resmi Liputan6.

2. Berani Merasa, Tanpa Merasa Bersalah

Kalau lagi sedih, nangis. Kalau marah, ungkapkan dengan sehat. Emosi itu gak selalu harus disembunyikan. Justru dengan jujur, kita bisa memproses dan lepasin perlahan.

3. Jangan Bandingkan Penderitaan

“Masih mending kamu…” adalah kalimat yang perlu kita hapus dari kamus. Setiap orang punya kapasitas dan latar belakang beda-beda. Rasa sakit itu valid, meski kecil di mata orang lain.

4. Ubah Kalimat Positif Jadi Kalimat Empati

Alih-alih bilang “Kamu pasti kuat!”, coba ubah jadi:

“Aku tahu ini nggak gampang. Tapi kamu gak sendiri.”
“Aku percaya kamu bisa lewatin ini, tapi kamu gak harus buru-buru kuat.”

Toxic Positivity di Media Sosial

Instagram, TikTok, Twitter—penuh konten “motivasional” yang kelihatannya positif, tapi sebenarnya bisa menekan. Kayak:

  • “Kalau kamu gagal, artinya kamu kurang berusaha.”

  • “Kegagalan itu cuma mental. Ubah mindset, sukses pasti datang.”

  • “Jangan pernah ngeluh. Nikmati proses.”

Saya dulu sering banget repost kalimat-kalimat kayak gitu. Tapi sekarang, saya lebih hati-hati. Karena gak semua orang butuh “motivasi”, kadang mereka cuma butuh ditemani dalam kepedihan.

Refleksi: Positif Itu Baik, Tapi Jangan Dipaksakan

Boleh kok berpikir positif. Saya juga masih percaya kekuatan positive thinking. Tapi harus ditempatkan dengan bijak.

Kadang kita perlu diam sejenak, duduk bareng rasa sakit, biarkan dia ada, lalu pelan-pelan lepaskan. Karena kalau dipaksa pergi, dia malah sembunyi dan muncul dalam bentuk yang lebih rumit.

Dan buat kamu yang lagi gak baik-baik aja sekarang:

Kamu gak harus selalu kuat. Gak apa-apa kalau lagi lemah. Gak salah kalau lagi sedih.
Yang penting, kamu gak sendiri. Ada banyak yang ngerti. Termasuk saya.

Penutup: Emosi Itu Lengkap, Jangan Dipotong-Potong

Toxic positivity itu kayak menutup jendela di hari hujan dan pura-pura bilang “matahari bersinar.” Padahal hujan juga bagian dari cuaca. Sama kayak sedih, kecewa, marah—itu bagian dari manusia.

Jadi mari kita belajar untuk jadi tempat aman, buat diri sendiri dan orang lain. Tempat yang gak buru-buru nyuruh “semangat ya!”, tapi mau duduk bareng, dengar, dan bilang, “Yuk, lewatin ini bareng-bareng.”

Karena kadang… yang kita butuhkan bukan motivasi. Tapi manusia lain yang hadir dengan tulus.

Baca Juga Artikel dari: Lychee Yakult: Segarnya Kombinasi Manis Asam yang Bikin Nagih!

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi