Waktu itu saya lagi tugas ke Kalimantan Timur. Biasa, urusan sekolah antarbudaya. Tapi saya sama sekali nggak nyangka bakal dibuat merinding sama tarian. Namanya Tari Kancet Ledo. Bayangin aja, seorang penari perempuan, berdiri anggun dengan bulu enggang di tangan, gerakannya pelan tapi penuh makna, kayak air sungai yang mengalir tapi bisa membelah batu.
Saya yang biasanya susah terdiam, kali itu beneran speechless.
Buat saya, Culture Tari Kancet Ledo itu bukan cuma tari-tarian. Dia adalah bahasa hening yang bicara tentang jati diri, kelembutan, dan kekuatan perempuan Dayak Kenyah. Dari situlah saya mulai menyelami, belajar, dan akhirnya—berani bilang—kita semua wajib menjaga tarian ini. Bukan cuma karena indah, tapi karena dia mewakili sesuatu yang lebih besar: identitas budaya yang makin terpinggirkan.
Keindahan yang Lembut Tapi Menggugah dari Tari Kancet Ledo
Kalau kita bicara soal keindahan tari tradisional, Tari Kancet Ledo tuh termasuk yang paling “sunyi tapi tajam”. Gerakannya nggak banyak lompatan atau hentakan. Malah sebaliknya: lambat, lemah lembut, kayak melayang. Tapi di balik itu, justru ada kekuatan simbolis yang luar biasa beritakaltara.
Saya pernah nanya ke salah satu penari di sana, Mbak Eni namanya. Dia bilang, setiap gerakan itu mewakili perjalanan seorang perempuan Kenyah—dari gadis remaja, sampai jadi perempuan dewasa yang bijak. Bulu burung enggang yang mereka bawa itu juga bukan hiasan biasa. Burung enggang di Dayak itu lambang kebesaran dan kesucian. Jadi ketika seorang perempuan menari dengan bulu itu, dia kayak “dipinjamkan” martabatnya oleh leluhur.
Jujur aja, saya sempat salah sangka. Awalnya saya kira tarian ini agak membosankan karena terlalu lambat. Tapi ketika saya mulai memperhatikan ekspresi wajah, gerakan tangan, cara kaki menyentuh tanah—saya malah jadi ketagihan. Ini bukan tari biasa, ini meditasi dalam gerak.
Mengapa Tari Kancet Ledo Harus Dilestarikan?
Saya pernah diskusi sama siswa waktu pulang dari Kalimantan. Saya tanya, “Ada yang tahu Tari Kancet Ledo?” Rata-rata jawabannya: “Itu makanan ya, Pak?”
Wah, sedih banget rasanya.
Padahal ini bukan soal tarian aja, tapi soal warisan budaya. Tari Kancet Ledo tuh bagian dari identitas suku Dayak Kenyah, yang populasinya nggak sebanyak suku-suku besar lain. Kalau kita nggak peduli, ya bisa aja 50 tahun lagi anak cucu kita cuma bisa liat videonya di YouTube, itu pun kalau masih ada yang unggah.
Pelestarian itu bukan soal nostalgia, tapi soal keberlanjutan. Tarian seperti Kancet Ledo membawa cerita masa lalu—tentang bagaimana perempuan dihargai, tentang keseimbangan manusia dan alam, tentang estetika yang nggak bisa dijelaskan dengan teori seni modern.
Dan buat saya pribadi, melestarikan tarian ini itu bentuk tanggung jawab. Kita yang tahu, harus jadi penghubung buat yang belum tahu.
Nilai Seni yang Terkandung dalam Tari Kancet Ledo
Nilai estetika dalam Tari Kancet Ledo tuh nggak bisa dilepas dari nilai-nilai adat dan spiritualitas. Setiap gerakan, bahkan kedipan mata atau posisi jari, punya makna. Serius, saya sempat kaget waktu tahu ada pelatihan khusus cuma buat belajar bagaimana memegang bulu enggang dengan benar. Bukan asal angkat-angkat aja.
Nilai-nilainya mencakup:
Keseimbangan: semua gerakan penari dilakukan dengan simetris dan harmonis. Filosofinya, hidup manusia juga harus seimbang.
Kesabaran dan ketekunan: untuk bisa menari dengan ritme pelan tapi konsisten itu nggak mudah. Butuh fokus dan kontrol luar biasa.
Kehormatan terhadap alam: bulu burung enggang yang dipakai itu melambangkan hubungan sakral dengan alam. Diambilnya juga dengan cara khusus, biasanya dari burung yang sudah mati alami.
Saya jadi mikir, kadang seni itu lebih jujur daripada teori. Dari satu tarian, kita bisa tahu banyak soal nilai hidup suatu masyarakat.
Tips Mempelajari Tari Kancet Ledo (Dari yang Awam Sampai Bisa)
Oke, saya bukan penari profesional ya. Tapi saya sempat ikut latihan beberapa kali. Dan, saya mau share tips buat kamu yang pengen coba belajar Tari Kancet Ledo. Percaya deh, kamu bisa mulai dari nol, kayak saya.
1. Mulai dari Mengamati
Sebelum coba gerakan, tonton dulu video Tari Kancet Ledo yang dilakukan oleh penari asli Dayak Kenyah. Fokus ke gerakan tangan, kepala, dan langkah kaki. Jangan buru-buru ikut gerak.
2. Pahami Ceritanya
Setiap tarian punya cerita. Cari tahu dulu konteks budaya dan filosofinya. Ini penting biar kamu nggak cuma ikut-ikutan gerak, tapi ngerti kenapa kamu gerak seperti itu.
3. Latihan Gerakan Dasar
Mulai dari sikap berdiri, posisi tangan memegang bulu enggang, dan langkah pelan ke samping. Gerakan Tari Kancet Ledo itu banyak di tangan dan kepala, jadi latihan cermin itu penting banget.
4. Ikut Sanggar atau Workshop
Kalau di kota kamu ada sanggar tari Kalimantan atau even budaya, ikut aja. Pengalaman langsung itu beda banget. Saya waktu pertama latihan, tangan saya kaku banget, malah kena bulunya sendiri. Tapi lama-lama jadi lentur juga.
5. Jangan Malu Salah
Saya pernah jatuhin properti waktu tampil kecil-kecilan di kampus. Malu sih, tapi itu bagian dari belajar. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Nikmati prosesnya.
Cara Melestarikan Tari Kancet Ledo (Nggak Harus Jadi Penari, Kok!)
Kamu mungkin mikir, “Saya bukan orang Dayak, masa saya harus ikut melestarikan Tari Kancet Ledo?”
Eh, jangan salah. Pelestarian budaya itu bukan soal asal-usul. Tapi soal kepedulian.
1. Sebarkan Informasi
Tulis di blog. Share di media sosial. Atau sekadar ceritakan ke teman bahwa kamu baru tahu tarian keren ini. Semakin banyak orang tahu, semakin besar peluang tarian ini bertahan.
2. Dukung Komunitas Lokal
Kalau kamu jalan-jalan ke Kalimantan, sempatkan nonton pertunjukan lokal. Beli kerajinan tangan mereka. Apresiasi karya itu cara paling nyata untuk memberi semangat mereka terus berkarya.
3. Gabung Komunitas Budaya
Banyak komunitas budaya Indonesia yang sering mengadakan kelas daring atau diskusi. Kamu bisa ikut, bahkan dari rumah.
4. Kolaborasi dengan Sekolah
Saya pribadi selalu ajak murid saya untuk eksplorasi budaya daerah. Bikin tugas tentang Tari Kancet Ledo, tampil di pentas sekolah, atau bahkan bikin vlog kecil. Anak-anak sekarang itu lebih visual, jadi kenalkan lewat cara yang relate sama mereka.
Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
Saya selalu percaya bahwa budaya itu bukan untuk disimpan di museum, tapi untuk dihidupkan. Tari Kancet Ledo adalah contoh nyata betapa indah dan dalamnya seni tradisional kita. Tapi keindahan itu bisa hilang kalau kita cuma jadi penonton pasif.
Saya bukan orang Dayak. Tapi setelah mengenal Kancet Ledo, saya merasa punya tanggung jawab untuk menjaga dan menceritakan ulang keindahannya.
Dan kamu, yang udah baca tulisan ini sampai akhir, mungkin sekarang juga merasa hal yang sama. Yuk, mulai dari hal kecil. Belajar, berbagi, dan mendukung.
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Batu Malin Kundang: Kisah yang Mengajarkan tentang Penyesalan dan Penghormatan disini